Oleh: Novi Rahmawati
(Mahasiswa S2 MPPDAS UGM penerima Beasiswa Unggulan dari DIKNAS)
Berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini merujuk suatu wacana tentang perencanaan tata ruang wilayah berbasis bencana. Bencana yang terjadi secara beruntun di Indonesia yang diakibatkan penggunaan tata ruang yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan menyebabkan akumulasi kerusakan yang terjadi terus menerus dan menyebabkan terjadinya bencana. Berbagai bencana yang terjadi dapat diatasi dengan perencanaan keruangan wilayah berdasarkan daya dukung dan kemampuan lingkungan. Berbagai faktor daya dukung dan kemampuan lingkungan dipertimbangkan untuk mengidentifikasi dan mitigasi bencana dalam suatu wilayah.
Pendekatan spasial pengelolaan lingkungan suatu wilayah berbasis bencana dapat didasarkan konsep pendekatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir. Pembatasan spasial perencanaan berdasarkan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir akan mempermudah managemen, mitigasi dan adaptasi bencana yang terjadi di suatu wilayah. Siklus aliran air dari pegunungan, perbukitan, untuk kemudian ke daerah yang lebih rendah dan ke lembah dan pada akhirnya ke pesisir dan menuju ke laut akan mempengaruhi proses yang terjadi di suatu wilayah berdasarkan karakterisitk dan daya dukung lingkungan. Air sebagai agen yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi proses yang terjadi di suatu wilayah akan lebih baik dan maksimal jika diatur berdasarkan batasan pergerakan siklus aliran air yaitu batasan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir. Managemen lingkungan dengan membatasi Daerah Aliran Sungai dan Pesisir sebagai satu kesatuan ekosistem akan mempengaruhi proses yang terjadi di masa mendatang berdasarkan daya dukung dan kemampuan lingkungan di DAS dan pesisir. Yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai acuan identifikasi bencana di Daerah Aliran Sungai dan Pesisir. Sehingga sebagai satu kesatuan ekosistem, managemen terpadu pengelolaan DAS dan pesisir dengan bertumpu pada bencana sebagai aspek penyusun tata ruang dapat diterapkan.
Kerangka awal sebagai acuan perencanaan tata ruang wilayah adalah identifikasi multi ancaman bencana yang dapat terjadi di DAS dan pesisir dengan melakukan inventarisasi berbagai ancaman bencana. Ancaman bencana di DAS dan pesisir dibedakan menjadi dua bagian yaitu ancaman bencana yang terjadi di Upland dan lowland area. Ancaman bencana di Upland area merupakan ancaman yang dapat terjadi di daerah hulu, misalnya pegunungan, perbukitan. Ancaman yang di lowland area atau daerah hilir seperti daerah pesisir. Ancaman bencana yang dapat terjadi di upland area contohnya longsor, gunung meletus, erosi, kebakaran hutan, dsb. Sedangkan bencana yang dapat terjadi di lowland area adalah kekeringan, banjir dari pasang surut air laut dan dari luapan sungai, intrusi air laut, tsunami, kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang, pencemaran airtanah akibat limbah domestik dan pertanian, amblesan tanah, abrasi, gempa, kekeringan, dsb.
Selanjutnya dilakukan inventarisasi dampak ancaman bencana terhadap masyarakat. Berdasarkan frekuensi dan besarnya ancaman bencana di Upland dan Lowland dapat dianalisa besarnya tingkat kerusakan yang dapat terjadi secara ekonomi dan sosial. Inventarisasi nilai kerusakan didapatkan dari nilai rupiah dari masing-masing unsur yang beresiko terjadi kerusakan apabila ancaman bencana terjadi misalnya jumlah populasi yang dapat meninggal, jumlah rumah yang dapat rusak, jumlah tambak yang dapat tergenang atau terpolusi.
Frekuensi dan besarnya ancaman bencana dikalikan nilai kerugian sebagai dampak jika terjadi bencana. Proses di tahap ini disebut tingkat resiko bencana yang kemungkinan dapat terjadi. Tiap unsur baik secara ekonomi maupun sosial yang terkena dampak seperti resiko meninggalnya orang, resiko suatu benda dapat mengancam kehidupan seseorang jika terjadi bencana, dan resiko nilai ekonomi suatu infrastruktur dapat rusak jika terjadi bencana. Berapa jumlah populasi yang terancam jiwanya yang mendiami suatu lokasi apabila terjadi bencana longsor dan atau banjir atau bencana lain dapat dihitung berdasarkan frekuensi dan besarnya ancaman bencana. Berapa potensi suatu obyek yang dapat mengancam kehidupan manusia jika terjadi bencana, misalnya potensi bangunan rumah dapat rubuh dan mengancam kehidupan penghuninya jika bencana gempa dan atau longsor terjadi. Berapa nilai ekonomi suatu obyek dapat terancam mengalami kerusakan jika terjadi bencana, misalnya nilai ekonomi infrastruktur jalan dan fasilitas umum jika terjadi tsunami, nilai ekonomi kehilangan flora dan fauna jika terjadi kebakaran hutan, kerugian yang dapat diderita petani jika tambak dan lahan pertaniannya terkena intrusi air laut. Sehingga persebaran tingkat resiko terjadinya multi bencana di DAS dan pesisir dapat digunakan sebagai acuan untuk merencanakan kebijakan dalam tata ruang wilayah.
Kebijakan yang dapat diterapkan untuk mengatasi ancaman bencana di DAS dan pesisir adalah dengan diproyeksikan melalui managemen penggunaan lahan yaitu landuse policy. Wujud campur tangan dan manifestasi manusia terhadap alam adalah tercermin dari penggunaan lahan. Penggunaan lahan akan memberikan warna dalam perencanaan tata ruang berbasis bencana. Landuse policy berbasis bencana dapat menunjukkan arahan penggunaan lahan yang diterapkan sebagai adaptasi penanggulangan bencana. Pengamanan dan persiapan yang dapat dilakukan untuk menghindari kerusakan ditunjukkan di arahan penggunaan lahan. Konsep tata ruang yang berlandaskan kebencanaan Oleh karena itu, berdasarkan persebaran tingkat resiko terjadinya bencana di DAS dan pesisir dibuat landuse policy untuk mengamankan unsur-unsur yang terancam terkena dampak bencana.
Pengamanan unsur-unsur yang terancam bencana melalui landuse policy dapat diterapkan dengan melakukan tindakan adaptasi terhadap lingkungan. Tindakan adaptasi dapat berupa pembangunan infrastruktur yang dapat mengurangi ataupun menghambat ancaman bencana. Pembangunan infrastruktur tergantung dari jenis bencana dan elemen/unsur yang terancam. Akan tetapi, satu pembangunan infrastruktur dapat juga untuk menanggulangi ancaman dari beberapa macam bencana. Disamping itu, proses adaptasi terhadap bencana tidak hanya melalui pembangunan infrastruktur. Proses adapatasi yang dapat dilakukan misalnya, pembangunan bangunan air untuk mencegah bencana banjir dan kekeringan, penghijauan di daerah pesisir untuk mengurangi abrasi, pemindahan pemukiman di daerah yang tidak rawan bencana misalnya di igir bukit yang tidak rentan longsor, perilaku masyarakat yang mengurangi pemompaan airtanah di daerah pesisir. Dengan diketahuinya berbagai macam ancaman bencana di suatu wilayah DAS dan pesisir, maka akan mempermudah tindakan adaptasi untuk mengatur tata ruang wilayah yang perlu dilakukan sehingga pembangunan suatu infrastruktur dapat berfungsi ganda, tidak saling tumpang tindih dan bahkan tidak memacu ancaman bencana yang lain.(*)
Oleh: Novi Rahmawati (Mahasiswa S2 UGM)
Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?war_id=NzI4Nw==